Solokini.com, Solo – Di balik suasana duka dan pembahasan suksesi pasca-wafatnya SISKS Pakubuwono (PB) XIII, tersimpan kisah-kisah tak terlupakan antara mendiang Raja dengan putranya, KGPH Hangabehi.
Putra Dalem ini mengenang sosok ayahnya sebagai pribadi yang tegas, mencintai petualangan, dan mengajarkan keberanian melalui pengalaman yang tak biasa.
Salah satu kenangan paling ekstrem adalah saat diajak ‘nongkrong’ di lereng Gunung Merapi di tengah erupsi.
Hangabehi menceritakan, mendiang ayahnya adalah sosok yang sangat senang bertualang. Kebiasaan ini sudah ditanamkan sejak kecil kepadanya.
“Dia itu senang berpene-penean malam-malam hari, ngajak saya gitu,” kenang Hangabehi, Jumat (7/11/2025).
Pengalaman yang paling membekas bagi Hangabehi adalah ketika mendiang PB XIII mengajaknya ke lereng Gunung Merapi saat gunung tersebut meletus atau erupsi pada tahun 2006, saat ia masih duduk di bangku SMP.
“Yang paling ekstrem itu saya diajak waktu SD atau SMP, tahun berapa itu, Gunung Merapi meletus (erupsi 2006). Kalau biasanya orang lain ada gunung meletus kan menghindar, ini saya tidak. Diboncengi naik motor, diajak ke sana,” ungkap Hangabehi.
Meskipun pada awalnya Hangabehi kecil merasa takut, PB XIII mengajaknya untuk berdiam diri di lereng gunung tersebut.
“Kita berdua nongkrong di pinggir Merapi sambil minum teh, disuruh menunggu, merasakan getaran-getaran gempa. Nah ini orang lain pada berbondong-bondong turun, kita malah diajak ke Merapi,” ujarnya.
Pengalaman itu, menurut Hangabehi, adalah cara sang ayah mengajarkan sebuah nilai penting, keberanian.
“Ternyata beliau mengajarkan saya untuk selalu berani menghadapi musibah apapun. Kalau itu memang belum takdirku ya enggak akan kena,” imbuh Hangabehi, mengenang pelajaran hidup dari mendiang ayahnya.
Meski demikian, Hangabehi mengakui bahwa perjalanan pulang dari petualangan ekstrem itu diwarnai tangisan.
Di luar pengalaman petualangan, PB XIII juga meninggalkan pesan mendalam bagi putranya.
“Pesan dari Bapak itu yang jelas ya harus tetap menjadi kepangeranan yang sujud, bisa nguri-nguri budaya dan adat di dalam keraton, dan tidak meninggalkan identitas yang ada di dalam keraton itu sendiri,” tutup Hangabehi.













