Mengapa Ada Ibu-Ibu Julid? Memahami Akar Psikologis Komentar Sinis dalam Interaksi Sosial

Ilustrasi ibu-ibu julid. (Freepik/drobotdean)

Solokini.com, Solo – Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, fenomena “ibu-ibu julid” yakni perempuan dewasa yang gemar melontarkan komentar sinis terhadap orang lain menjadi bagian dari dinamika sosial sehari-hari.

Komentar membanding-bandingkan secara negatif sering terdengar ringan namun sebenarnya bisa menyakitkan.

Seperti, “Anaknya kurus banget ya, nggak dikasih makan?”, atau “Sudah lama nikah kok belum punya anak?”, hingga “Wah, bajunya sih bagus, tapi mereknya itu-itu aja ya?”

Apa sebenarnya yang mendorong perilaku semacam ini? Mengapa hal ini terjadi? Apakah sekadar kebiasaan buruk, atau ada faktor psikologis dan sosial yang lebih dalam?

  • Perasaan Rendah Diri dan Strategi Sosial Komparatif

Salah satu faktor utama munculnya komentar sinis adalah perasaan tidak aman atau rendah diri.

Dalam teori sosial psikologi, social comparison theory yang dikemukakan Leon Festinger (1954) menjelaskan, manusia secara alami membandingkan dirinya dengan orang lain untuk mengevaluasi diri sendiri.

Baca juga : Mengenal Trauma : Luka Psikologis yang Tak Terlihat

Dalam beberapa kasus, perbandingan ini berubah menjadi komentar negatif atau merendahkan, sebagai cara untuk mempertahankan harga diri.

Perempuan, terutama yang berada dalam tekanan sosial sebagai ibu rumah tangga atau pengasuh utama anak, sering merasa dinilai berdasarkan keberhasilan rumah tangganya.

Komentar sinis bisa menjadi bentuk pertahanan diri untuk merasa “lebih baik” daripada yang lain, meskipun hanya secara semu.

  • Internalized Misogyny dan Budaya Kompetisi Antarperempuan
Baca Juga :  Apa Itu Julid? Pengertian dan Perspektif Ahli Psikologi

Dalam banyak budaya patriarkal, perempuan sering dibentuk untuk saling bersaing alih-alih saling mendukung.

Peneliti Jo Littler dalam Against Meritocracy (2017) mengungkap, budaya neoliberal dan patriarki membuat perempuan saling mengkritik satu sama lain dalam konteks “kompetisi diam-diam”, soal penampilan, anak, rumah tangga, atau karier.

Komentar sinis menjadi saluran ekspresi dari tekanan yang mereka internalisasi, bentuk internalized misogyny. Yakni ketika perempuan menyerap pandangan negatif tentang perempuan lain dan menegaskannya lewat kritik sosial.

Baca juga : Apa Itu Julid? Pengertian dan Perspektif Ahli Psikologi

  • Kurangnya Regulasi Emosi dan Empati

Kemampuan seseorang untuk mengelola emosinya berperan besar dalam menentukan cara ia berinteraksi.

Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence (1995) menyebut, orang dengan kecerdasan emosional rendah lebih mungkin menyampaikan komentar menyakitkan karena tidak mampu menghargai perasaan orang lain.

Bagi sebagian ibu-ibu yang kelelahan secara emosional atau sosial, komentar sinis bisa menjadi pelampiasan tidak sadar dari emosi negatif yang tidak tersalurkan secara sehat.

  • Eksistensi di Komunitas dan Rasa Kontrol

Komentar sinis juga dapat muncul sebagai cara mempertahankan eksistensi dalam lingkungan sosial.

Menurut penelitian oleh Deborah Tannen (1990) dalam You Just Don’t Understand, perempuan lebih sering membangun relasi melalui komunikasi emosional dan simbolik.

Baca Juga :  Mengenal Trauma : Luka Psikologis yang Tak Terlihat

Namun, jika rasa aman dalam komunitas terganggu, komunikasi itu bisa berubah menjadi cara untuk menegaskan dominasi atau “status sosial”.

Baca juga : “Cocote Tonggo” jadi Debut Film Layar Lebar Sahli Himawan di Dunia Perfilman

Komentar seperti, “Kalau saya sih, anak saya udah bisa baca sejak umur 4 tahun,” adalah bentuk halus dari usaha menegaskan posisi diri, yang terkadang terasa menjatuhkan bagi orang lain.

  • Kebutuhan Akan Validasi Sosial

Menurut Dr. Susan Krauss Whitbourne, profesor psikologi dari University of Massachusetts, salah satu motivasi utama seseorang memberikan komentar sinis adalah kebutuhan untuk merasa lebih unggul atau valid secara sosial.

Dalam konteks ibu-ibu, komentar seperti “Duh, anaknya kok belum bisa jalan ya padahal udah satu tahun?” bisa jadi berasal dari keinginan untuk menegaskan bahwa mereka telah melakukan tugas sebagai ibu dengan baik.

Kesimpulan

Fenomena “ibu-ibu julid” tidak muncul dari ruang kosong. Ia dipengaruhi oleh tekanan sosial, ketidakamanan psikologis, budaya patriarki, dan rendahnya kemampuan regulasi emosi.

Memahami akar masalah ini bukan untuk membenarkan perilaku sinis, tetapi untuk menyadari bahwa respon kita terhadap komentar semacam itu sebaiknya tidak dibalas dengan kemarahan, melainkan dengan empati yang sehat dan batas yang tegas.

Berita sebelumyaSambut Liburan, Solo Safari Siapkan Edukasi Bayi Macan hingga Tari Kecak