Jeritan Senyap Bayi Kucing Solo, Kisah Pilu di Balik Tumpukan Sampah dan Dinginnya Malam

Solokini.com, Solo – Di tengah hiruk pikuk dan gemerlap menjelang akhir tahun 2025, Kota Solo menyimpan kisah kelam yang kerap terabaikan: darurat pembuangan bayi-bayi kucing.

Catatan pilu dari Rumah Difabel Meong (RDM), sebuah komunitas yang berfokus pada penyelamatan kucing, menunjukkan adanya peningkatan tren yang memilukan ini.

Setiap minggunya, bayi-bayi kucing yang baru berumur hitungan hari ditemukan tanpa induk, dibuang di lokasi-lokasi yang tak layak seperti pasar, stasiun, terminal, Tempat Penampungan Sampah (TPS), dan bahkan pinggir jalan.

Praktik keji ini, yang terjadi merata di seluruh Karesidenan Surakarta dengan Solo sebagai angka tertinggi, sama saja dengan menjemput kematian bagi makhluk tak berdaya ini.

Data yang dikumpulkan RDM sejak 2019 memberikan gambaran yang mengkhawatirkan. Menurut Ning Hening Yulia, founder RDM, meskipun data bersifat perkiraan kasar karena cepatnya mutasi populasi, angkanya terus melonjak.

Tahun 2019, sekitar 700 ekor anak/bayi kucing dibuang di Soloraya. Tahun 2021-2024, angka melonjak drastis dan bertahan di kisaran 1.200 ekor per tahun. Pada 2025 (hingga November), sudah tercatat 1.100 ekor.

Baca Juga :  BPOM Surakarta Ajak SPPG, Supplier, dan Aparat Hukum Teken Komitmen Integritas Amankan Pangan MBG

“Kami tidak mencatat data pasti angka, karena mutasi populasi kucing sangat cepat. Data ini hitungan kasar kisaran yang mampu kami rapikan,” jelas Hening, Kamis (4/12/2025).

Pihaknya menegaskan bahwa pembuangan bayi kucing adalah bentuk kekerasan paling keji dalam konteks kehidupan seekor kucing.

Hening menyebut ada dua faktor utama di balik tragedi ini:

  •  Kurangnya Kesadaran Steril. Banyak pemilik kucing yang belum memiliki kesadaran untuk mensteril induk kucing peliharaan mereka.
  • Mahalnya Biaya Steril. Walaupun layanan steril subsidi sudah banyak, biayanya masih menjadi kendala besar, gagal mengejar laju overpopulasi yang terus menghantui.

Di sisi lain, Hening menyayangkan pandangan sebagian masyarakat yang masih memperlakukan kucing hanya sebagai objek kesenangan, bukan sebagai subjek yang juga berhak mendapatkan kebahagiaan dan tanggung jawab.

Overpopulasi ini lantas berujung pada tingginya angka kekerasan, mulai dari dihalau secara kasar hingga diracun membabi buta, terutama di area pasar dan TPS/TPA.

Menghadapi situasi darurat ini, Hening mencetuskan sebuah gagasan mendesak yang membutuhkan kolaborasi semua pihak.

Baca Juga :  Bawaslu dan Pramuka Sukoharjo Bentuk Saka Adhyasta, Perkuat Pengawasan Partisipatif Pemilu

“Kadang saya membayangkan, di Soloraya ada semacam mini shelter khusus untuk bayi kucing sebagai tempat menampung sementara,” ujar Hening.

Ia menegaskan bahwa mini shelter ini bukan untuk “memanjakan” para pembuang kucing, melainkan sebagai wujud kehadiran negara dalam mengatasi maraknya krisis ini.

Harapannya, jika pun bayi-bayi ini tidak bertahan, mereka akan mati di tempat yang layak dan penuh kasih sayang, jauh dari dinginnya pinggir jalan.

Selain itu, Hening menekankan pentingnya steril massal gratis yang dilakukan secara berkala untuk kucing jalanan. Menurutnya, menekan angka populasi adalah cara paling efektif untuk secara otomatis menekan angka kekerasan.

“Masih bayi saja sudah disiksa karena tidak adanya tanggung jawab manusia,” tutup Hening yang senantiasa menyuarakan jeritan senyap ribuan bayi kucing yang dibuang di Soloraya.

Kisah ini adalah cerminan bagi Solo, bahwa pembangunan fisik harus diimbangi dengan pembangunan empati dan tanggung jawab sosial terhadap sesama makhluk hidup.

Berita sebelumyaTenka Community Hadirkan Event Wibu Gratis Akhir Pekan Ini sebagai Gerakan Wibunomics
Berita berikutnyaPemkot Solo Serahkan Tali Asih untuk Atlet dan Pelatih PON Aceh–Sumut